Kenangan Serambi Masjid: Sebuah Rindu yang Tak Pernah Usai

Bagikan Keteman :

Kenangan Serambi Masjid: Sebuah Rindu yang Tak Pernah Usai

Di masa kecilku, saat diriku, Andik Irawan kecil, usia masih belia — masih bocil, kata orang sekarang — ayahku mengambil satu keputusan penting yang membekas seumur hidup: beliau mendaftarkanku ikut mengaji, belajar membaca Al-Qur’an di serambi masjid kampung kami. Waktunya adalah selepas Maghrib hingga Isya, ketika langit mulai menggelap namun cahaya ilmu mulai menyala dalam jiwa.

Di situlah aku mengenal para guru ngajiku yang amat aku hormati hingga kini. Mereka adalah sosok-sosok penuh wibawa dan ketulusan:
Bapak Ya’kub, Bapak Samukit, Bapak Mujaizin, Bapak Munajib, Bapak Sabikin, dan Bapak H. Munir Abbas.
Merekalah para guru Qur’an yang begitu mulia dalam kenangan masa kecilku. Tanpa banyak bicara, mereka mendidik dengan kesabaran. Mereka menanamkan huruf demi huruf, ayat demi ayat, hingga tertanam dalam hati kami nilai-nilai iman dan adab.

Saat aku mulai beranjak remaja, masuk ke bangku MTs, zaman perlahan berubah. Serambi masjid mulai lengang. Anak-anak kecil yang dulu ramai mengaji mulai berkurang. Hanya tersisa para senior seperti Cak Nuri, Cak Bahron, Cak Muflihun, dan beberapa lainnya. Mereka adalah generasi terakhir dari tradisi ngaji sore di serambi masjid. Setelah itu, suasana berubah.

Lalu berdirilah lembaga semi formal TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an). Tapi anehnya, sejak itu justru masjid menjadi semakin sepi. Mungkin karena sistemnya berbeda, atau karena semangat tradisi sudah memudar. Entahlah. Yang pasti, aku merasakan ada yang hilang… sunyi. Rindu.

Dan dari kerinduan itulah aku mulai mengambil langkah kecil. Aku berinisiatif untuk selalu hadir di masjid antara Maghrib hingga Isya, sendiri. Hanya berniat menjaga keberlangsungan waktu dan ruang belajar yang dulu kuterima dengan penuh berkah. Tanpa rencana, tanpa pengumuman. Hanya duduk, membaca, menunggu.

Tapi Allah Maha Mengatur.

Tanpa kusangka, beberapa anak kecil mulai mendekat. Mereka duduk di sekitarku, ikut belajar, mengaji, mendengar. Awalnya hanya satu-dua, lalu bertambah menjadi lima, tujuh, dua belas… dan terus bertambah. Hingga akhirnya jumlah mereka mendekati seratus anak, semua datang dengan semangat, dengan wajah-wajah bersih penuh harapan.

Aku pun berusaha mengelola mereka. Kubagi ke dalam kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok kupilihkan seorang “kakak” sebagai pendamping, agar mereka bisa belajar bersama, saling mengajari, saling menguatkan. Kami belajar Al-Qur’an, tajwid, hafalan, tata cara salat, bahkan adab-adab kecil dalam kehidupan sehari-hari. Semuanya kami lakukan antara Maghrib hingga Isya, dengan suasana penuh kekeluargaan dan cinta ilmu.

Tanpa terasa, enam tahun aku menjalani peran ini. Masjid yang semula sunyi kembali hidup. Suara anak-anak kembali menggema. Canda tawa, lantunan ayat, dan semangat mereka menjadi energi baru yang luar biasa. Hingga akhirnya, waktu memanggilku untuk melangkah lebih jauh. Aku harus hijrah ke Surabaya, menempuh kuliah sambil bekerja, demi melanjutkan pengabdian dalam bentuk yang lain.

Kini, dari kejauhan, hatiku sering dirundung rindu. Rindu suasana serambi masjid, rindu wajah-wajah kecil yang tulus itu, rindu akan kesederhanaan yang begitu dalam maknanya. Tempat kecil itu menjadi saksi bisu perjalanan tumbuhku, dan bagaimana Allah mendidik melalui cara-cara-Nya yang penuh kejutan.

Aku tak tahu, apakah anak-anak itu kini masih mengaji, atau sudah tumbuh dewasa, membentuk jalan hidup masing-masing. Tapi aku percaya, segala yang dilakukan dengan tulus, akan abadi dalam ingatan Allah.
Dan semoga, kelak suatu saat, mereka pun akan mengenang masjid itu sebagaimana aku mengenangnya hari ini.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment